Ini catatan YLKI soal tarif dan penggunaan hasil tes PCR

2021-12-01 08:48:44 By : Ms. Claire Chen

Reportero: Ridwan Nanda Mulyana | Editorial: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - YAKARTA. Penyediaan layanan pendeteksi virus Covid-19 seperti prueba de frotis de reacción en cadena de la polimerasa (PCR) menjadi krusial dalam situasi pandemi. Tapi, tarif dan penggunaan hasil test PCR seringkali memunculkan polemik. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun memberikan catatan atas kedua hal tersebut.

Pengurus YLKI Agus Suyatno menegaskan, pihaknya memang tidak dalam kapasitas untuk menentukan pasará la prueba bagi covid-19 seperti PCR maupun Antigen. Namun menyikapi polemik yang sering terjadi, YLKI pun menyarankan agar pemerintah tidak hanya menentukan vestidos atas tarif test covid-19, melainkan juega mengatur gowns margin keuntungan yang boleh diambil oleh penyedia layanan test.

Agus bilang, masuk akal jika publik banyak mempertanyakan terkait harga wajar prueba Covid-19, terutama PCR. Melihat perubahan harga yang beberapa kali terjadi, mulai dari Rp 1,5 juta bahkan lebih di awal pandemi, lalu turun menjadi Rp 900.000, selanjutnya Rp 750.000, Rp 500.000, kemudian terbaru menjadi Rp 300.000, publik menaruyeh gem jukigaong testgenai covidia margin -19.

Baca Juga: Pengusaha berharap diikutsertakan dalam penentuan harga tes PCR

Menurut Agus, margen de los vestidos keuntungan yang wajar (justo) bagi konsumen dan pelaku usaha berkisar di 20% -25% dari total biaya produksi. Batas tersebut sudah mempertimbang berbagai komponen dasar seperti pengadaan reagen, hingga biaya laboratorium dan tenaga ahli.

¿Artinya, harus jelas, selama ini sebetulnya berapa komponen harga atau harga dasar dari prueba PCR? dari biaaga jaying eranksi dari biaya jaying (yang diatur), tetapi maksimal dari margin juega perlu ditentukan, "ujar Agus saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (14/11).

Dia melanjutkan, polemik PCR sempat membesar lantaran penggunaannya sebagai syarat wajib perjalanan, terutama transportasi udara dan penyeberangan. YLKI menilai, hal itu memang sangat memberatkan konsumen seiring biaya test PCR yang tinggi. Bahkan tak jarang lebih tinggi daripada harga tiket perjalanan.

Agar agus menyarankan pemerintah tidak kembali menjadikan PCR sebagai syarat wajib perjalanan. Lebih dari itu, YLKI pun meminta agar test PCR dikembalikan pada ranah medis sebagai alat diagnosisa dalam penerapan 3T (prueba, rastreo, tratamiento). Sebab jika sebagai syarat transportasi, prueba de PCR desinyalir lebih kental bernuansa bisnis.

Sekalipun diperlukan sebagai alat screening, pemerintah bisa menetapkan syarat melakukan vaksinasi, atau minimal cukup dengan Antigen. "YLKI berharap, PCR dikembalikan ke ranah medis sebagai diagnósticos, bukan screening perjalanan. Kalau pun harus ada syarat screening, cukup Antigen, operador dan perjalanan bisa menyediakan dengan harga terjangkau," imbuh Agus.

  Selanjutnya: Impor meningkat, neraca perdagangan Oktober 2021 berpeluang turun